Masukan Kata Kunci Dalam Mencari

Rabu, 28 November 2012

Mbah Min dan Tafsiran Akalnya : Tafsir QS.Ali Imran : 78


وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُم بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab”(QS.Ali Imran 78) 

Senin 12 November 2012, MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jawa Tengah kabupaten Sukoharjo melakukan tabayun (klarifikasi) terhadap Mbah Min alias Drs. Minardi Mursyid. Dalam tabayun yang pada penutup acaranya Mbah Min disuruh taubat tersebut, dibahas mengenai sikap Mbah Min atas tafsiranya terhadap ayat Al Qur’an. Mbah Min mengaku dirinya seorang Mufasir kontemporer  ulung yang kemampuan analisis tafsirnya lebih baik dari Ibnu Katsir dan Ath Thabari. Mbah min berkata dalam sebuah makalah setebal 25 halaman yang dipublikasikanya, ia berkata bahwa : “Para ilmuwan Muslim (mufasir) baru sebatas (meneliti) hal yang berkaitan dengan ibadah, dikiranya Al Qur’an tidak mampu menerangkan hal-hal berkaitan dengan segala yang ada di semesta. “  Dalam tulisan itu Mbah Min yakin betul bahwa dia termasuk kedalam kategori orang yang berpikir secara sempurna, tidak seperti orang kebanyakan, sungguh kepercayaan diri yang luar biasa.
          Mbah Min menyebarkan ajaran tafsir ala ingkarus sunnah nya ini melalui berbagai media, baik vidio CD, media cetak, hingga yang paling menggemparkan hingga dikecam keras oleh ulama dan Masyarakat Solo adalah melalui media radio, Mbah Min dan murid-muridnya yang tergabung dalam Yayasan Tauhid Indonesia (YATAIN) berani menyewa jam siaran di radio MQ FM Solo meskipun dengan harga yang tidak murah.
          MUI Sukoharjo menilai bahwa model tafsir Mbah Min sangat menyimpang dan jauh dari kaidah tafsir yang benar, model tafsirnya adalah ingkar sunnah. Dimana sudah menjadi kesepakatan para mufasir (penafsir) bahwa menafsirkan ayat al qur’an hendaknya tidak boleh bermodal akal semata, ada beberapa syarat dalam menafsirkan al Qur’an. Seperti seorang mufasir hendaknya memiliki hapalan hadits yang cukup baik, paham disiplin kebahasaan Arab, beraqidah lurus dan shahih, wara’ dan amalanya shahih serta terlepas dari kebid’ahan.(Lihat : Majmu Fatawa, VII/256).     
          Selain itu motode dalam menafsirkan ayat hendaknya mematuhi kaidah penafsiran yang berlaku, seperti menafsirkan ayat dengan ayat lainya, sebab tidak terlepas kemungkinan satu ayat dengan ayat lain masih bersangkutan dan saling menafsirkan. Dan kedua adalah menafsirkan Qur’an dengan Al Hadits, sebab orang yang paling paham akan maksud dan arti wahyu Allah adalah Rasulullah saw yang terabadikan dalam Haidts-hadits yang sahih. Serta yang terakhir adalah menafsirkan ayat dengan komentar para sahabat, sebab sahabat adalah orang kedua setelah nabi yang tahu persisi akan maksud Allah menurunkan wahyu-Nya sehingga para sahabat lebih paham akan ayat-ayat al Qur’an. (Lihat :Tafsir Ibnu Katsir, I/17)
          Namun baik kriteria seorang yang mumpuni dalam menafsirkan al Qur’an dan juga metode tafsir yang shahih sama sekali Mbah Min tidak memilikinya dan menguasainya. Ketika diklarifikasi oleh MUI Sukoharjo dan ulama Solo, kenapa Mbah Min berani menafsirkan al Qur’an seenaknya sendiri sehingga menimbulkan penafsiran yang menyimpang menggunakan bahasa Arab. Mbah Min kelabakan dan tidak bisa menanggapi pertanyaan MUI Sukoharjo, dan Mbah Min memohon agar jangan menggunakan bahasa Arab namun memakai bahasa Indonesia atau Jawa saja. Padahal menurut Syaikh al Islam Ibnu Taimiyyah, haram hukumnya mengomentari ayat al Qur’an jika tidak paham bahasa Arab. Namun oleh sebab Mbah Min sakti, ia begitu PD (Percaya Diri) mengomentari dan manfsiri al Qur’an sak udele dhewe (seenaknya sendiri).
          Maka dari itu alim ulama Solo dan MUI Sukoharjo menggolongkan model tafsir Mbah Min kedalam model pemahaman ingkarus sunnah, sebab Mbah Min ogah menafsiri atau memahami ayat al Qur’an yang syarat akan ilmu Allah dengan hadits Rasulullah saw melainkan hanya dengan akalnya sendiri. Benar, Mbah Min menafsirkan al Qur’an hanya dengan akalnya semata sehingga tafsiranya menjadi tafsir akal-akalan buah pemikiran akal yang terbatas.

Drs. Minardi Mursyid dan Tafsir Ali Imran : 78

          Menurut kesaksian para alim ulama dan umat islam Solo, Klaten, dan Sukaharjo dengan saksi yang banyak dan berita yang mutawatir (banyak sumber), bahwa dalam sebuah siaran radio MQ FM Solo Mbah Min Bersiul akan penafsiranya atas QS.Ali imran ayat 78. Ceritanya Mbah Min hendak menafsirkan makna ayat

 وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُم بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab”(QS.Ali Imran 78)
          Menurut Mbah Min, makna ayat  مِنْهُمْ  “diantara mereka” itu artinya adalah para penulis kitab Hadits layaknya Imam Bukhari, muslim, An Nasai, Tirmidzi dan lainya. Sebab mereka ini sering menisbatkan kitab yang mereka tulis dari Rasulullah saw, dan perkataan Rasulullah saw adalah perkataan Allah juga. Inilah tafsiran Mbah Min, begitu Cetar Membahana Samudra Ulala ditelinga dan akal pikiran.
          Jadi Mbah Min memahami bahwa ayat itu ditunjukan kapada para Muhandits (pakar hadits) yang menulis kitab dan mengumpulkan riwayat Nabi Allah Muhammad saw saw.

Asbabun Nuzul Ali Imran : 78

          Ibnu Taimiyyah berkata bahwa orang yang tidak tahu sebab turunya ayat (asbabun nuzul) tidak akan pernah paham makna ayat, sebagaimana Mbah Min tidak paham asbabun nuzul hingga ia salah alamat dalam menafsirkan ayat.
          Menurut Muhammad Abdur Razaq Al Ash’iy bahwa ayat Ali Imran 78, An Nisa 46 dan Al Baqarah 79 adalah sama, yaitu sama-sama ditunjukan pada ahlul kitab yang gemar memutar balikan fakta akan kabar dalam kitab Allah dan memalsukanya. Oleh sebab adanya kesamaan inilah maka sama pula sebab turunya ayat yaitu sebagaimana sebab turunya ayat Al Baqarah 79 bahwa riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa turunya ayat ini berkenaan dengan ahali kitab yang gemar memalsukan al Kitab. Maka sebab turunya ayat seperti itu, maka ayat ini ditunjukan untuk para ahli kitab yang kafir, yang gemar memalsukan dan mengubah-ubah al Kitab (Yahudi & Nasrani).
          Jelaslah bila demikian bahwa tafsiran Mbah Min yang dimaksud dalam ayat itu adalah para penulis hadits tertolak. Sebab para penulis hadits adalah mukimin bukan kafir sebagaimana ahlul kitab, dan juga kitab-kitab para ahli hadits bukanlah al Kitab selaku kitab suci sebagaimana taurot yang dipalsukan dan diatas namakan dari Allah swt. Maka jika Mbah Min tetap ngotot dan menggebu-gebu atas tafsiranya, itu secara tidak langsung Mbah Min menghukumi kaum mukminin (para ahli hadits) dengan ayat yang ditunjukan untuk orang kafir. Astaghfirullah


Tafsir Ali Imran : 78

          At-Thabary mengatakan: “Kata  مِنْهُمْ  “diantara mereka” dalam ayat tersebut adalah Ahlul Kitab (orang-orang Nashrani).(At Thabari : I/768)
          Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa مِنْهُمْ  “diantara mereka” di sini adalah orang-orang Yahudi.( Ibnu Katsir: I/561)
          Tafsir al-Maraghi lebih jelas mengatakan: “ مِنْهُمْ  “diantara mereka”  dalam ayat ini adalah ulama Yahudi yang berada di sekitar Madinah, serta orang yang mengikuti dan berjalan di jalan mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa golongan (fariqan) itu merupakan orang Yahudi yang datang kepada Ka’ab ibnul Asyraf, yang dikenal sangat memusuhi Rasulullah SAW, dan sering menghasutnya. Mereka merubah Taurat, kemudian menulis al-Kitab yang mengganti sifat Nabi SAW. Dan, Bani Quraidhah mengambil apa yang mereka tulis, kemudian mencampuradukkannya dengan kitab yang ada pada mereka. Dan, mereka ketika membacanya memutarbalikkan bacaannya sampai orang-orang menduga bahwa itu dari Taurat.
          Penafsiran مِنْهُمْ  “diantara mereka” dengan Yahudi sejalan dengan ayat di surah an-Nisa’ ayat 46 yang artinya:
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa`ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.”
         
Mutiara Tafsir

Dalam kasus Mbah Min ini terdapat pelajaran yang berharga bahwa :
1.     Tidak boleh menafsirkan al Qur’an seenaknya sendiri sehingga menyalahi maksud firman  Allah akan wahyunya
2.     Hendaklah seorang muafasir bukanlah orang sembarangan terlebih orang awam yang tidak paham bahasa Arab, melainkan ulama yang mumpuni dan terpercaya
3.     Boleh-boleh saja seorang Ustadz atau Ustadzah mengajarkan tafsir Qur’an dimana mereka masih berpegang pada kitab-kitab tafsir ulama yang muktabarah (diakui), sebab mengajarkan tafsir berbeda dengan menafsirkan. Dan sekalipun ada alim yang hendak menafsirkan suatu ayat hendaknya dengan cara yang sahih dan diakui kedisiplinan ilmunya. Sebagaimaa sudah dijelaskan dimuka, bagaimana cara menafsirkan al Qur’an yang benar. Tidak asal layaknya Mbah Min sehingga menyesatkan, padahal al Qur’an itu mencerahkan.
4.     Mbah Min dan YATAI nya benar-benar dilihat dari model memahami al Qur’an, benar-benar seorang Ingkar Sunnah wal Jama’ah. sehingga sudah tepat langkah MUI Sukaharjo menyuruhnya bertaubat dan kembali kepada sunnah. Mbah Min disuruh bertaubat oleh MUI Sukaharjo dan masyarakat Solo Raya oleh ajaranya sudah meresahkan umat islam Solo Raya dan sekitarnya.
5.     Bahwa sifat Yahudi dan Nasrani adalah gemar memalsukan kitab, maka dari itu ini suatu dalil bahwa Injil dan Taurot dewasa ini adalah palsu atau bukan kalam Allah.

[] Muhammad Fachmi hidayat

10 komentar:

  1. saya percaya anda pasti lebih muda dari mbah min........

    BalasHapus
  2. seharusnya dahulu rukun iman ditambah lagi menjadi rukun iman terhadap hadist..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehee........boleh mas,, tapi deskripsi iman terhadap hadits gimana maksudnya?

      Hapus
  3. talk sebenarnya ahli sunnah wal jamaah itu apa to ...lawong semuanya mengatakan ahli sunnah tetapi tidak mengamalkan sunahnya nabi... seperti kamu yang ngomong tok dan kurang kreasi dan tanpa amal yang kongkrit ...alias NATO [no action talk only]...bisanya cuma menyalahkan tetapi tidak mau meluruskan !

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah,,yg NATO anda,,, berpendapat ga ada data kongkrit...mana contohnya org yg ngaku ahli sunah tp g amalkan sunah...apakah anda contohnya?
      misal pembela eyang MIND. dan berpndapat eyang Mind ga sesat..belalah dg hujah yg ilmiyah

      Hapus
  4. Saya setuju dg hikma henri.Lalu apakah dlm menafsirkan al qur'an harus mndapat persetujuan dari manusia gitu?.IBNU KATSIR DKK dapat prsetujuan dari siapa, dlm menafsirkan al qur'an bukankah mereka juga menafsirkan dg akal mereka sendiri bukan dg akalnya orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. weigh...... adakah ulama yg mengkritisi Ibnu Katsir???? menJahr beliau???

      Hapus
  5. Saya pernah mengikuti jajian ini.. penafsiran nya tidak seenaknya sendiri seperti yg dikatakan di atas..

    1 ayat yg di ganti tafsirnya akan di samakan dengan 5-6 ayat yg lain di surat yg lain.. nah di ayat yg lain berarti seperti ini.. dan ini pun harusnya juga memiliki arti seperti itu.

    BalasHapus
  6. Kutinggalkan kalian dua perkara yang tidak akan membuat kalian tersesat yaitu kitabullah dan sunnah.

    BalasHapus
  7. Lucu para kaum ahlusunah..pikirnya sholat cuma ada jaman nabi muhammad saja...bagaimana dg nabi adam,ibrahim,nuh yang belum kenal hadist bukori hahaha....kalian pikir islam itu umurnya baru 1400 thn...kalah dong sm usia bumi yg sdh 4,5 milyar thn..mikirrr

    BalasHapus