Masukan Kata Kunci Dalam Mencari

Rabu, 29 Agustus 2012

Ketika muslimah NU "menghianati" ulama mereka






Oleh : Ibnu Suyud at Tamimi
(Muhammad Fachmi bin Suyud al Ghomawangiy)

            Penghianatan yang saya maksut adalah ketidak mauan mereka dalam menjalankan sariat atas apa yang ulama mereka rumuskan dalam hukum syara’-fikih-. NU adalah salah satu aliansi pergerakan umat yang paling gethol dalam meneriakan kewajiban bermadzhab dan konsisten dengan madzhab. Bahkan tidak jarang diantara mereka yang mencaci sebagian golongan umat islam yang tidak konsisten dengan Imam madzhab.

            Ulama NU adalah ulama mulia yang konsisten dengan madzhab mereka dan orang yang alim atas ilmu yang dimilikinya. Konsistensi mereka ini bisa terlihat dalam tulisan-tulisan mereka yang laur biasa, yang dimana mereka tuangkan dalam kitab-kitab karya mereka.

            Namun konsistensi ulama yang mulia ini tidak ditiru oleh para pengikutnya. Padahal seperti yang kita ketahui warga NU adalah warga yang paling menghormati para ulama , pandai dalam meneladani para ulama dan mendengarkan nasehat-nasehat para ulama. Tapi sayang para muslimah NU telah luntur akan sikap tersebut. Salah satu wujud penghianatan yang saya maksud adalah. Para muslimah NU tidak lagi mengindahkan syariat hijab dalam menutup aurot sebagaimana di rumuskan oleh para Ulama-ulama syafi’iyah yang dijadikan panutan para ulama NU.

            Saya bukanlah orang NU delles­-dalam jawa : fanatik-. Namun saya adalah seorang mukmin yang bermadzhab syafiiyah. Dimana madzhab Syafii ini juga dianut oleh ulama-ulama NU. Jadi jika ulama NU mengatakan NU sejati adalah orang NU yang konsisten pada madzhab-Syafii-  maka saya secara tidak langsung adalah NU sejati. Pasalnya saya adalah orang yang konsisten dengan madzhab Syafii. Meskipun pada kenyataanya saya ini bukan warga NU.

            Salah satu rumusan fikih yang tidak lagi diindahkan oleh para pengikut madzhab Syafii di tubuh NU adalah masalah hijab. Dimana batasan aurot yang harus ditutup. Ulama dan warga NU sudah menghianati madzhab dan ulama-ulama mereka. Buktinya adalah dimana ulama-ulama NU mengajarkan para muslimah tata cara berhijab yang tidak bersesuaian dengan madzhab mereka dan parahnya kesalahaan ini juga diikuti muslimah-muslimah NU pada umumnya. Sebelumnya disini saya katakan bahwa para ulama Syafii telah mewajibkan memakai niqab (pakaian hijab yang menutupi seluruh tubuh, termasuk wajah dan matanya yang sebelah) kepada para muslimah bila mereka hendak keluar rumah atau bertemu dengan lelaki yang bukan mahrom/ajnabi.

Pendapat ulama Syafiiyah tentang wajibnya niqab.(Bercadar/ menutup wajah)

            Salah satu kitab ulama Syafiiyah yang populer menjadi rujukan utama ulama,santri dan warga NU yaitu salah satunya adalah kitab Kifayatul AKhyar Fii Hilli Ghoyatil Ikhtishor, yg ditulis oleh Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al Husaini ad Damsyaqi asy Syafi'i, Penerbit ; Darul Khoir Damaskus, thn 1994.hal.181.


disebutkan bahwa :


ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب

“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)-” (Kifaayatul Akhyaar, 181).

            Jelas sekali pendapat al Husaini As Syafii diatas bahwa aurot wanita dalam sholat adalah seluruh badan kecuali wajah dan tangan. Dan aurot wanita diluar sholat adalah seluruh badan termasuk wajah.

Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:

فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا

“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115).

            Ibnu Qasim mewajibkan menutup wajah dan telapak tangan bukan beralasan karena wajah dan tangan adalah aurot. Karena menurut Ibnu Qasim wajah bukanlah aurot yang wajib ditutup. Namun diwajibkanya menutup wajah adalah karena wajah adalah sumber fitnah yang harus ditutup.

Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:

وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها

“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)

            Syaikh Al Ghazzi menerangkan akan wajibnya menutup seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan bila diluar shalat karena aurot diluar sholat adalah adalah seluruh tubuh. Namun bila dalam sholat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan. Karena syara menyuruh menghadapkan wajah ketika sholat.

Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:

غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن

“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411).

            Kejelasan dari Syaikh Sulaiman akan perkataan Imam Nawawi akan wajibnya menutup wajah dihadapan lelaki yang bukan mahram. Yaitu dengan kalimatnya “. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan”


Asy-Syarwani,berkata:


إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ



“Wanita memiliki tiga jenis aurat,

 (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan,
 (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad,
 (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram(suami), sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha”
 (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)

            Sebuah kejelasan lagi dari Asy Sarwani bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya dihadapan lelaki ajnabi atau lelaki  yang bukan mahramnya.

            Jadi kesimpulan dari keterangan para ulama Syafiiyah diatas adalah aurot wanita yang wajib ditutup adalah seluruh badan kecuali wajah dan tangan bila dalam sholat. Karena memang syara menuntut membuka wajah dalam sholat. Dan haram hukumnya menampakan wajah jika diluar sholat terlebih kepada ajnabi atau lelaki yang bukan mahromnya, kerena aurot diluar sholat adalah seluruh tubuh termasuk wajah yang dimana harus ditutupi (berhijab). Inilah pendapat mu’tamad dari ulama Syafiiyah mengenai wajibnya memakai cadar.

Pendapat ulama NU tentang wajibnya niqab/memakai cadar.

            Maksud dari ulma NU  adalah ulama yang dijadikan rujukan kitab karanganya oleh ulama NU. Di antara buku yang terkenal di kalangan NU adalah kitab Safinatun Najah yang maknanya adalah perahu keselamatan.
Sebuah kitab bagi  pemula yang hendak belajar fikih Syafii. Kitab ini ditulis oleh Salim bin Sumir al Hadhrami-berasal dari Hadramaut Yaman- namun beliau meninggal di Jakarta.

Ketika membahas tentang aurat, penulis mengatakan:

فصل: العورات أربع: الرجل مطلقا والأمة في الصلاة ما بين السرة والركبة.

“Fasal (tentang aurat)
Aurat itu ada empat macam:

            Pertama, aurat laki-laki dalam semua keadaan dan aurat budak perempuan adalah bagian badan antara pusar dan lutut.

وعورة الحرة في الصلاة جميع بدنها ما سوي الوجه والكفين.

            Kedua, aurat perempuan merdeka (baca:bukan budak) ketika shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.

وعورة الحرة والأمة عند الأجانب جميع البدن.

            Ketiga, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki ajnabi (bukan mahrom) adalah seluruh anggota badannya.

وعند محارمهما والنساء ما بين السرة والركبة.

            Keempat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki yang berstatus mahrom dengannya adalah bagian badan antara pusar dan lutut” (Safinatun Najah yang dicetak Nurud Duja-terjemah Safinatun Najah dalam bahasa Jawa- hal 58-59, terbitan Menara Kudus tanpa tahun).

            Tegas dalam kutipan di atas bahwa menurut penulis Safinatun Najah seorang perempuan merdeka harus menutupi seluruh tubuhnya (termasuk mata) tanpa terkecuali ketika bertemu dengan laki-laki ajnabi baik di rumah, di warung, di pasar ataupun di sekolah.

            Sebagaimana yang ditegaskan oleh Kyai Asrar bin Ahmad bin Khalil Wonosari Magelang dalam Nurud Duja fi Tarjamah Safinatun Najah. Terjemah Safinatun Najah dalam bahasa ini diberi kata pengantar oleh penerjemahnya pada tanggal 17 Sya’ban 1380 H atau 1 Januari 1961 M dan diberi kata sambutan oleh Kyai Muhammad Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem pada tanggal 27 Jumadil Akhir 1380 H atau 16 Desember 1960 M dan Kyai Bisri Mushthofa Rembang pada 28 Jumadil Akhir 1380 H atau 17 Desember 1960 M.

Di halaman 59, Kyai Asrar pada komentar no 3 mengatakan, “Nomer telu: aurate wadon merdeka lan amah naliko sandingan karo wong lanang liya yo iku sekabehane badan”.

            Yang artinya dalam bahasa Indonesia, “Macam aurat nomer ketiga adalah aurat perempuan merdeka dan budak perempuan ketika berada di dekat laki-laki ajnabi adalah seluruh badannya”.

            Penjelasan penulis Safinatun Najah dan Kyai Asror dari Wonosari Magelang tersebut tidaklah bisa dipraktekkan kecuali jika para perempuan memakai niqab, burqoh atau cadar yang menutupi seluruh badan termasuk mata. Kalau sekedar cadar yang masih menampakkan kedua mata masih dinilai kurang sesuai dengan penjelasan di atas.

            Yang sangat disayangkan mengapa belum pernah saya jumpai saudara-saudara kita para mbah romo kyai NU yang menerapkan aturan ini pada istrinya (baca:bu nyai) atau pada anak-anaknya. Belum pernah juga saya jumpai warga nahdhiyyin yang menerapkan kandungan kitab Safinatun Najah ini padahal mereka sangat sering mengkaji kitab ini.

Mengapa realita berlainan dengan teori di kitab? Adakah belajar agama itu sekedar wawasan bukan untuk diamalkan?
            Kemudian kitab Syarh ‘Uqud al Lajjiin fi Bayan Huquq al Jauzain karya Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al Jawi adalah buku wajib santri NU yang ingin mewujudkan keluarga sakinah dalam rumah tangganya. Di dalamnya terdapat beragam nasihat untuk suami dan istri sehingga buku ini “wajib” dikaji oleh santri atau santriwati yang hendak menikah.
            Sebatas pengetahuan saya penulis matan Uqud al Lajjiin yang bermakna untaian perak adalah anonim alias tidak diketahui secara pasti.
            Di antara yang menarik di buku ini adalah bahasan tentang aurat wanita muslimah menurut penulis matan dan pen-syarah-nya.
            Di halaman ke-3 baris ke-7 dari atas menurut cetakan dari penerbit Syarikah an Nur Asia (tanpa dicantumkan tahun terbit dan alamat penerbit) disebutkan sebagai berikut:
(الفصل الثاني في) بيان (حقوق الزوج) الواجبة (على الزوجة) و هي طاعة الزوج في غير معصية وحسن المعاشرة وتسليم نفسها إليه وملازمة البيت وصيانة نفسها من أن توطيء فراشه غيره و الاحتجاب عن رؤية أجنبي لشيء من بدنها ولو وجهها وكفيها إذ النظر إليهما حرام ولو مع اتفاء الشهوة والفتنة …
“(Fasal kedua itu berisi) penjelasan (mengenai hak-hak suami) yang menjadi kewajiban (istri). Hak-hak tersebut adalah:
1. mentaati suami selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat
2. memperlakukan suami dengan baik
3. menyerahkan dirinya kepada suami (jika suami mengajak untuk berhubungan badan, pent)
4. Betah di rumah
5. menjaga diri jangan sampai ada laki-laki selain suaminya berada di tempat tidur suaminya
6. berhijab sehingga tidak ada satupun bagian tubuhnya yang terlihat oleh laki-laki ajnabi termasuk di antaranya adalah wajah dan kedua telapak tangannya karena adalah haram hukumnya seorang laki-laki melihat wajah dan telapak tangannya meski pandangan tersebut tanpa diiringi syahwat dan tidak dikhawatirkan adanya pihak-pihak yang tergoda…”
Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkataan penulis matan. Sedangkan yang diluar dalam kurung adalah perkataan Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Bantani, pensyarah matan Uqud al Lajjiin.
Di halaman 17 baris ke-9 dari bawah penulis matan berkata sebagaimana berikut ini:
(فيجب علي المرأة إذا أرادت الخروج أن تستر جميع بدنها ويديها من أعين الناظرين)
“Wajib atas perempuan muslimah jika hendak keluar rumah untuk menutupi semua badannya termasuk kedua telapak tangannya agar tidak terlihat mata para laki-laki yang melihat dirinya”.
Berdasarkan dua kutipan di atas jelaslah bahwa wajibnya seorang muslimah menutup seluruh badannya ketika bertemu lelaki ajnabi adalah pendapat penulis matan Uqud al Lajjain sebagaimana dalam kutipan kedua, sekaligus pendapat Syaikh Muhammad bin Umar al Jawi sebagaimana dalam kutipan pertama.
            Bahkan di halaman 18 baris ke-9 dari bawah an Nawawi al Jawi al Bantani mengklaim adanya ijma’ amali (kesepakatan secara praktek nyata) bahwa muslimah itu bercadar ketika berada di luar rumah. Beliau mengatakan,
إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن متنقبات
“Tidak henti-henti sepanjang zaman (umat Islam, pent) bahwa laki-laki itu keluar rumah dalam keadaan tidak bercadar sedangkan kaum wanita itu bercadar jika mereka keluar dari rumah”.
            Jadi umat Islam tidak pernah mengenal dan tidak pernah tercatat dalam sejarah umat Islam sampai masa Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Jawi al Bantani adanya seorang wanita muslimah yang bukan budak keluar rumah dalam keadaan wajahnya terbuka.
            Sungguh sangat aneh jika ada kaum nahdhiyyin yang lupa bahwa bercadar bagi wanita adalah ajaran resmi nahdhiyyin sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab dasar yang diajarkan kepada santri pemula dan orang-orang awam. Bahkan beranggapan bahwa cadar bagi muslimah hanya sekedar budaya Arab Saudi dan tidak ada dalam ajaran Islam. Memang benar, ilmu itu akan terjaga jika di amalkan bukan hanya sekedar diteorikan.
            Jadi apakah saya (Muhammad  bin Suyud al Ghomawangiy al Jawi ) dimana saya sering divonis sebagai seorang Wahabi yang tidak bermadzhab dan tak konsisten dengan para ulama, berlebihan jika saya katakan muslimah NU menghianati ulama NU. Padahal disatu sisi saya mengakui bahwa saya bermadzhab Syafii dan saya konsisten akan madzhab syafii. Buktinya, jika ditanyakan kepada saya “ Apa hukum bercadar?” .  maka saya akan jawab dengan gamblang ‘WAJIB”. Jadi siapa yang bermadzhab Syafii, saya seorang wahabi atau siapa yang suka mengaku-aku bermadzhab syafii berembel NU sejati ?


Pekalongan . 07/04/2012


Maraji’
  • Kifayatul AKhyar Fii Hilli Ghoyatil Ikhtishor,Al Husaini As Syafii.
  • Fathul Qaarib, Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi
  • Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj ,Asy-Syarwani
  • Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, Ibnu Qaasim Al Abadi
  • Safinatun Najah
WEB:
  • Ustadaris.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar