Masukan Kata Kunci Dalam Mencari

Minggu, 30 Desember 2012

Jangan Membujang Wahai Bujangan : Tafsir.QS. Al Hadid : 27



وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللَّهِ

"Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah" (QS.Al Hadid : 27)



Emoh kawin dengan tidak sempat kawin hingga akhir hayat kiranya amat jauh berbeda maknanya. Benar ada beberapa ulama yang hingga akhir hayatnya tidak sempat menikah oleh sebab beberapa faktor keadaan yang menekan, seperti ia tertekan dari musuh-musuh islam sehingga harus dipenjara hingga ajal menjemputnya sebagaimana Syaikh al Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah ta’ala-. Namun ulama islam yang mulia ini bukan bersikap emoh kawin atau merahibkan diri sebagaimana pendeta Kriten Nasrani dan beberapa budha Hindusme. Beliau bukan bersikap monastisisme (mengharamkan diri untuk menikah), melainkan tidak berkesempatan untuk menikah oleh sebab ajal merenggutnya sebelum ia mempunyai kesempatan.
          Ada beberapa aliran sesat dalam keagamaan sebagaimana orang-orang Nasrani, Budha, dan beberapa aliran sufi ekstrimis yang mengharamkan nikah pada diri mereka. Sehingga mereka beraqidah (keyakinan) bahwa dengan membujang atau tidak menikah mereka akan mulia disisi Tuhan dan akan semakin bertaqwa dan  meningkatkan derajat keagamaanya. Namun hal ini dibantah oleh Allah ta’ala langsung dalam kitabnya yang suci, sebagaimana dijelaskan dalam QS.Al Hadid ayat 27.

Mutiara Tafsir
رَهْبَانِيَّةً maksudnya adalah tabattul, yaitu meninggalkan semua kelezatan dan kenikmatan duniawi dan memfokuskan diri pada Allah dengan hanya beribadah, dengan maksud mencari ridho Allah. Dan kemudian tabattul ini diingkari oleh Allah dengan kalimat مَا كَتَبْنَاهَا “tidak mewajibkannya” maksudnya tidaklah Allah membuat syariat yang seperti itu (tabattul). ابْتَدَعُوهَا “mereka mengada-ngadakan” maksudnya mereka adalah para pelaku tabattul, yang dimana mereka membuat bid’ah dalam rangka mengabdi pada Allah (ibadah). Tabattul adalah suatu bid’ah dalam agama, sedang bid’ah dalam agama adalah sesat dan setiap kesesatan ini adalah neraka tempatnya.
          Bid’ah tabattul ini diingkari dan tidak diakui dalam agama yang berkonsekuensi tidak bisanya digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah atau ibadah. Justru ketika ada manusia mengamalkan bid’ah, ia akan jauh dari Allah, tidak mendapat pahala (sia-sia) dan bahkan mendapat dosa. Mencari ridho Allah adalah dengan cara yang dibenarkan dan diakui oleh Allah, bukan dengan mengada-ada tata cara sendiri atau membuat syariat atas sekehendak hati tanpa ada dasar dari Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini juga sebagai dalil untuk mencela para pelaku bid’ah dan mubtadi’ (pembuat bid’ah/pengajar bid’ah).
          Ayat ini juga menerangkan akan hakikat bid’ah, yaitu setiap perkara yang diada-adakan manusia dalam rangka untuk beribadah,taqarrub (medekatkan diri pada Allah), dan syariat atau syiar dalam agama. Yang dimana kesemuanya itu tidak ada pengakuan dari Allah dan Rasul-Nya (-maksudnya adalah tidak ada keterangan/dalil dari Nash [al Qur’an dan Al Hadis]- atau contoh dari Rasulullah saw)

Rasulullah saw bersabda : “barang siapa yang membenci sunnahku maka dia bukan termasuk dari golonganku’.” (Shahih Bukhari No : 5063)
          Makna ”bukan dari golonganku” adalah dia enggan menjalankan Sunnah, petunjuk dan jalanku (golongan ini tidak mau menikah tapi tidak sampai mengharamkan nikah). Dan adapula yang mengatakan bahwa ia telah kafir (bukan golongan umat Muhammad saw ) oleh sebab ia mengharamkan apa-apa yang dihalalkan dalam islam. Sudah menjadi Ijma’ akan kafirnya siapa saja yang mengaramkan apa yang dihalalkan oleh Allah begitu pula sebaliknya.

Asal Usul Monastisisme
Monastisisme adalah sebuah praktik keagamaan di mana seseorang menyangkali tujuan-tujuan duniawi dengan maksud agar dapat membaktikan hidupnya semata-mata bagi karya rohani. (wikipidia.id)
          Banyak agama memiliki unsur-unsur monastik, termasuk Buddhisme, kekristenan, Hinduisme, dan Jainisme, meskipun ekspresinya berbeda-beda. Orang-orang yang menjalani kehidupan monastik biasanya disebut monakhos, biarawan, rahib, bruder, frater, atau saudara, jika berjenis kelamin laki-laki, dan biarawati, rubiah, suster, atau saudari jika berjenis kelamin perempuan.
          Para ahli berbeda pendapat sejak kapan monastisisme ada, yang jelas praktek konyol ini diperkirakan sudah ada sejak zaman sebelum adanya agama Nasrani dan Yahudi berkembang. Sebab agama Narani dan Yahudi yang menerapkan monastisisme sendiri juga menduplikat prakter agama selainya. Namun menurut keterangan Al Qur’an, praktek monastisisme adalah suatu praktek taqarrub (penghambaan/pendekatan diri pada Tuhan) yang diada-adakan oleh manusia sendiri dan bukan atas dasar perintah wahyu.

Monastisisme dan akal sehat manusia
Jelas sangat pasti bahwa monastisisme ini bertantangan dengan fitrah manusia yang memiliki bawaan syahwat dan nafsu terhadap ranah seksualitas. Secara akal manusia praktek ini sudah tidak bisa diterima, maka dari itu perkara ini dibantah oleh Allah dan diharamkan dalam islam melalui intruksi langung oleh Rasulullah saw.
          Selain itu pula jika monastisisme ini dibenarkan maka akan musnahlah seluruh kehidupan manusia, sebab populasi manusia yang semakin menurun. Sedangkan bukanlah hal yang demikian yang dikehendaki oleh Allah, Allah sekiranya berkehendak akan senantiasa ada khalifah di bumi ini untuk menjaga dan melestarikan bumi. Dan khalifah itu tentunya manusia yang terus melanjutkan (mengkhalifahkan) anak pinak manusia hingga hari kiamat sampai bumi ini musnah.
          Hal ini (monastisisme) sudah bisa menjadi talak ukur baik-buruknya dan sesat lurusnya suatu ajaran agama, dimana hanya agama dan aliran kepercayaan yang konyol dan sesat sajalah yang mengakuinya dan bahkan mendoktrinkan serta mengamalkanya.

Hukum Monastisime
Monastisisme atau dalam islam diistilahkan dengan tabattul (membujang) adalah sudah menjadi Ijma’ ulama(konsensus atau kepastian hukum) akan keharamnya. Umat islam diharamkan untuk monastisisme.
          Menurut Imam Al Qurtubi tabattul adalah meninggalkan semua kelezatan dan kenikmatan duniawi dan memfokukan diri pada Allah dengan hanya beribadah. (Tafsir Al Qurtubi :19/44)
          Muhammad Ali Ash Shabuni berkata bahwa tabattul arti yang lebih khususnya bermakna menjauhi wanita (membujang) dan tidak menikahinya dalam rangka mencari ridho Allah dan dengan alasan hendak memfokuskan diri hanya beribadah pada Allah.( al Zawaj al Islami al Mubakkir:32)
          Imam Al ‘Aini menjelaskan bahwa ‘giat dengan penuh semangat untuk beribadah pada Allah tidak apa-apa dan baik, namun jika sampai mengesampingkan diri untuk meninggalkan perkawinan (dengan sengaja) itu dilarang, sebab nabi tidak pernah mengajarkan seperti itu. Selain juga banyak nash dari hadist sahih dan al Quran yang mengharamkan membujang dan memerintahkan untuk menikah demi kemaslahatan dunia dan akhirat. (Syarah al ‘aini ‘ala shahih bukhari :16/259)
          Imam Nawawi dan Ibnu Hajar juga berpendapat sedemikian yaitu mempersilahkan untuk beribadah dengan sungguh-sungguh namun tanpa mengesampingkan pernikahan. Sebab dalam pernikahan ini ada tujuan agama dan separuh agama yang harus dijalani. Sebagaimana meneruskan keturunan, menghindari kekejian (zina), serta penjagaan fitrah manusia dan ladang beramal shaleh layaknya ibadah (taqarrub ila Allah) lainya.
Rasulullah saw bersabda :
"Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani (-yang membujang/ monastisisme/tabattul-)." (HR. Al-Baihaqi (VII/78) dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah dengan hadits-hadits pendukungnya (No: 1782) )
          Hadits ini adalah dasar haramnya membujang/ monastisisme dan kabar dari Rasulullah saw bahwa benar ada suatu ajaran monastisisme yang dilakukan oleh pendeta Nasrani, yang kemudian menjadi doktirn (ajaran) mereka yang sesat.

Adakah Isa al Masih Menikah ?
Banyak dari kalangan Nasrani mengklaim bahwa Isa al Masih tidaklah pernah menikah, meski hal ini kemudian ditentang serta dibongkar sendiri kedustaanya oleh pakar ilmuan Nasrani dan beberapa riwayat kitab kuno yang ditulis oleh ulama-ulama Nasrani.
          Sebagimana telah ditemukan dalam papirus kuno yang berebentuk fragmen bahwasanya disebutkan bahwa yesus (Isa al Masih) menyatakan bahwa ia beristri. Papirus kuno ini diperkirakan dituli pada masa koptik Mesir kuno yang ada sekitar abad keempat.( the Daily Mail, Rabu (19/9).)
          Mengenai sikap kaum muslimin atas kabar dari ahlul kitab ini, yaitu kabar dari kalangan Nasrani (Ahlul kitab)bahwa Isa al Masih tidak menikah. Adalah bahwa umat muslim harus mengikuti instruksi Rasulullah saw bahwa apabila ada berita perihal nabi-nabi dari kalangan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) maka hendaknya tidak membenarkan dan tidak mendustakan. Cukup sebagai pengetahuan, namun tidak untuk diyakini,diamalkan atau diingkari begitu saja. (Tafsir Ibnu Katsir : 1/31)
          Seorang ulama dari Arab Saudi as Syaikh Abdurrahman Al Jibrin pernah ditanya perihal kabar bahwa Isa al Masih tidak menikah sebagaimana yang dikabarkan oleh orang-orang ahlul kitab Nasrani. Beliau menjawab bahwa kabar tersebut benar termasuk berita israiliyat (berita dari ahlul kitab Nasrani dan Yahudi) yang dimana tidak boleh diingkari dan dipercayai (-sebagimana keterangan diatas-). Namun perihal menikah tidaknya Rasul Allah yaitu Isa al Masih ini, kita selaku umat mukmin wajib mengingkari oleh sebab berita ini sudah dibantah oleh hadits dari Rasulullah saw bahwa semua Rasul-Rasul Allah itu menikah, tidak ada yang tidak menikah semua Rasul-Rasul Allah. Dan Isa al Masih adalah termasuk Rasul Allah.
          At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
"Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah." (HR. At-Tirmidzi (No: 1086) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)
          Dalam hadits yang sahih ini jelas bahwasanya semua Rasul Allah itu menikah selaku sunnah mereka. Dan yang dinamakan sunnah itu adalah segala sesuatu yang diamalkan, diperintahkan, dan dipertahankan. Jadi sebagai umat mukmin, mengikuti keumuman hadits ini bahwa semua Rasul Allah itu menikah lebih harus diikuti ketimbang berita dari ahlul kitab bahwa ada Rasul Allah (Isa al Masih) yang tidak menikah.(Search : Maktabah Syamilah). Allahu’alam

[] Muhammad Fachmi Hidayat
Sumber : sudah tercantum dalam catatan kaki langsung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar